Kamis, 25 November 2010
Kondisi Mahasiswa
Kondisi mahasiswa atau pelajar saat ini sudah jauh berbeda dengan era otoritarian tempo dulu,saat itu mahasiswa-mahasiswa idealis anti rezim yang berkuasa dianggap mimpi dan dipandang sebelah mata oleh masyarakat pada umumnya cari aman dan selamat saja,namun setelah gelombang perjuangan yang terus menerus sedikit kebebasan telah dapat dinikmati oleh kaum intelektual ini.
Banyak dari mereka terlena dengan kebebasan ini.Menganggap diri mereka dan negara in telah merdeka dari tahun 45.Tapi mereka tidak sadar bahwa sebenarnya mereka masih belum merdeka secara seutuhnya,mereka masih terjajah secara tidak langsung.Bahkan banyak dr kaum intelektual ini yang saking terlena nya dengan kebebasan setelah ORDE BARU,mereka mulai tidak peduli atau enggan untuk peduli dengan sekitar mereka termasuk rakyat,bangsa dan Negara ini.Masih adakah kaum intelektual dinegara ini?.Masih adakah mereka yang benar-benar peduli dengan sekitar mereka?.Kapankah mereka sadar bahwa kebebasan yang diberikan hanya ilusi semata?.Benarkan kemerdekaan yang kita rasakan itu real?.Ataukah hanya ilusi semata?.
Apakah perjuangan mahasiswa 1998 itu akan sia-sia semata?.Memang label ORDE BARU telah berubah menjadi REFORMASI,tapi itu hanyalah label semata,tidak dalam penerapan atau realisasi nya.Masih banyak orang-orang ORDE BARU yang bebas berkeliaran diluar sana,bahkan memegang jabatan-jabatan penting di Negara ini.Sadarkah mereka para mahasiswa,bahwa sebenarnya mereka tertindas?.Mereka tergolong orang yang manut-manut saja ketika mereka ditindas,hak mereka diambil,walaupun bukan dengan cara kekerasan.Peraturan-peraturan mengekang pun tidak mereka sadari.Tapi ini lah realita nya,mereka tidak peduli,enggan untuk peduli,atau bahkan tidak mengetahui hal seperti itu.Sampai kapankah hal ini akan terus berlangsung?.Hanya sang waktu lah yang bisa menjawabnya.
Mahasiswa dan tanggung jawab sosial
Perguruan tinggi adalah sebuah institusi yang tidak sekedar untuk kuliah,mencatat pelajaran,pulang dan tidur.Tapi harus dipahami bahwa perguruan tinggi adalah tempat untuk penggemblengan mahasiswa dalam melakukan kontempelasi dan penggambaran intelektual agar mempunyai idealisme dan komitmen perjuangan sekaligus tuntutan perubahan.
Penggagasan terhadap terminologi perguruan tinggi tidak akan bisa dilepaskan dari suplemen utama,yaitu mahasiswa.Stigma yang muncul dalam diskursus perguruan tinggi selama ini cenderung berpusat pada kehidupan mahasiswa.Hal ini sebagai konsekuensi logis agresitivitas mereka dalam merespon gejala sosial ketimbang kelompok lain dari sebuah sistem civitas akademika.
Akan tetapi fenomena yang berkembang menunjukkan bahwa derap modernisasi di Indonesia dengan pembangunan sebagai ideologinya telah memenjarakan mahasiswa dalam sekat institusionalisasi,transpolitisasi dan depolitisasi dalam kampus.Keberhasilan upaya dengan dukungan penerapan konsep NKK/BKK itu,pada sisi lain mahasiswa dikungkung dunia isolasi hingga tercerabut dari realitas sosial yang melingkupinya.Akibatnya,mahasiswa mengalami kegamangan atas dirinya maupun peran-peran kemasyrakatan yang semestinya diambil.Mahasiswa pun tidak lagi memiliki kesadaran kritis dan bahkan sebaliknya bersikap apolitis.
Melihat realitas seperti itu maka perlu ditumbuhkan kesadaran kritis mahassiwa dalam merespon gejala sosial yang dihadapinya,karena di samping belum tersentuh kepentingan praktis,mahasiswa lebih relatif tercerahkan (well informed) dan potensi sebagai kelompok dinamis yang diharapkan mampu mempengaruhi atau menjadi penyuluh pada basis mayarakat baik dalam lingkup kecil maupun secara luas.Dengan tataran ideal seperti itu,semestinya mahasiswa dapat mengambil peran kemasyrakatan yang lebih bermakna bagi kehidupan kampus dan mayarakat.
Senin, 22 November 2010
SEJARAH PERGERAKAN MAHASISWA INDONESIA
Gerakan mahasiswa di Indonesia adalah kegiatan kemahasiswaan yang ada di dalam maupun di luar perguruan tinggi yang dilakukan untuk meningkatkan kecakapan, intelektualitas dan kemampuan kepemimpinan para aktivis yang terlibat di dalamnya.
Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, gerakan mahasiswa seringkali menjadi cikal bakal perjuangan nasional, seperti yang tampak dalam lembaran sejarah bangsa.
SEJRAH
1908
Boedi Oetomo, merupakan wadah perjuangan yang pertama kali memiliki struktur pengorganisasian modern. Didirikan di Jakarta, 20 Mei 1908 oleh pemuda-pelajar-mahasiswa dari lembaga pendidikan STOVIA, wadah ini merupakan refleksi sikap kritis dan keresahan intelektual terlepas dari primordialisme Jawa yang ditampilkannya.
Pada konggres yang pertama di Yogyakarta, tanggal 5 Oktober 1908 menetapkan tujuan perkumpulan : Kemajuan yang selaras buat negeri dan bangsa, terutama dengan memajukan pengajaran, pertanian, peternakan dan dagang, teknik dan industri, serta kebudayaan.
Dalam 5 tahun permulaan BU sebagai perkumpulan, tempat keinginan-keinginan bergerak maju dapat dikeluarkan, tempat kebaktian terhadap bangsa dinyatakan, mempunyai kedudukan monopoli dan oleh karena itu BU maju pesat, tercatat akhir tahun 1909 telah mempunyai 40 cabang dengan lk.10.000 anggota.
Disamping itu, para mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Belanda, salah satunya Mohammad Hatta yang saat itu sedang belajar di Nederland Handelshogeschool di Rotterdam mendirikan Indische Vereeninging yang kemudian berubah nama menjadi Indonesische Vereeninging tahun 1922, disesuaikan dengan perkembangan dari pusat kegiatan diskusi menjadi wadah yang berorientasi politik dengan jelas. Dan terakhir untuk lebih mempertegas identitas nasionalisme yang diperjuangkan, organisasi ini kembali berganti nama baru menjadi Perhimpunan Indonesia, tahun 1925.
Berdirinya Indische Vereeninging dan organisasi-organisasi lain,seperti: Indische Partij yang melontarkan propaganda kemerdekaan Indonesia, Sarekat Islam, dan Muhammadiyah yang beraliran nasionalis demokratis dengan dasar agama, Indische Sociaal Democratische Vereeninging (ISDV) yang berhaluan Marxisme, menambah jumlah haluan dan cita-cita terutama ke arah politik. Hal ini di satu sisi membantu perjuangan rakyat Indonesia, tetapi di sisi lain sangat melemahkan BU karena banyak orang kemudian memandang BU terlalu lembek oleh karena hanya menuju "kemajuan yang selaras" dan terlalu sempit keanggotaannya (hanya untuk daerah yang berkebudayaan Jawa) meninggalkan BU. Oleh karena cita-cita dan pemandangan umum berubah ke arah politik, BU juga akhirnya terpaksa terjun ke lapangan politik.
Kehadiran Boedi Oetomo,Indische Vereeninging, dll pada masa itu merupakan suatu episode sejarah yang menandai munculnya sebuah angkatan pembaharu dengan kaum terpelajar dan mahasiswa sebagai aktor terdepannya, yang pertama dalam sejarah Indonesia : generasi 1908, dengan misi utamanya menumbuhkan kesadaran kebangsaan dan hak-hak kemanusiaan dikalangan rakyat Indonesia untuk memperoleh kemerdekaan, dan mendorong semangat rakyat melalui penerangan-penerangan pendidikan yang mereka berikan, untuk berjuang membebaskan diri dari penindasan kolonialisme.
[sunting] 1928
Pada pertengahan 1923, serombongan mahasiswa yang bergabung dalam Indonesische Vereeninging (nantinya berubah menjadi Perhimpunan Indonesia) kembali ke tanah air. Kecewa dengan perkembangan kekuatan-kekuatan perjuangan di Indonesia, dan melihat situasi politik yang di hadapi, mereka membentuk kelompok studi yang dikenal amat berpengaruh, karena keaktifannya dalam diskursus kebangsaan saat itu. Pertama, adalah Kelompok Studi Indonesia (Indonesische Studie-club) yang dibentuk di Surabaya pada tanggal 29 Oktober 1924 oleh Soetomo. Kedua, Kelompok Studi Umum (Algemeene Studie-club) direalisasikan oleh para nasionalis dan mahasiswa Sekolah Tinggi Teknik di Bandung yang dimotori oleh Soekarno pada tanggal 11 Juli 1925.
Diinspirasi oleh pembentukan Kelompok Studi Surabaya dan Bandung, menyusul kemudian Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), prototipe organisasi yang menghimpun seluruh elemen gerakan mahasiswa yang bersifat kebangsaan tahun 1926, Kelompok Studi St. Bellarmius yang menjadi wadah mahasiswa Katolik, Cristelijke Studenten Vereninging (CSV) bagi mahasiswa Kristen, dan Studenten Islam Studie-club (SIS) bagi mahasiswa Islam pada tahun 1930-an.
Dari kebangkitan kaum terpelajar, mahasiswa, intelektual, dan aktivis pemuda itulah, munculnya generasi baru pemuda Indonesia yang memunculkan Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Sumpah Pemuda dicetuskan melalui Konggres Pemuda II yang berlangsung di Jakarta pada 26-28 Oktober 1928, dimotori oleh PPPI.
[sunting] 1945
Dalam perkembangan berikutnya, dari dinamika pergerakan nasional yang ditandai dengan kehadiran kelompok-kelompok studi, dan akibat pengaruh sikap penguasa Belanda yang menjadi Liberal, muncul kebutuhan baru untuk menjadi partai politik, terutama dengan tujuan memperoleh basis massa yang luas. Kelompok Studi Indonesia berubah menjadi Partai Bangsa Indonesia (PBI), sedangkan Kelompok Studi Umum menjadi Perserikatan Nasional Indonesia (PNI).
Secara umum kondisi pendidikan maupun kehidupan politik pada zaman pemerintahan Jepang jauh lebih represif dibandingkan dengan kolonial Belanda, antara lain dengan melakukan pelarangan terhadap segala kegiatan yang berbau politik; dan hal ini ditindak lanjuti dengan membubarkan segala organisasi pelajar dan mahasiswa, termasuk partai politik, serta insiden kecil di Sekolah Tinggi Kedokteran Jakarta yang mengakibatkan mahasiswa dipecat dan dipenjarakan.
Praktis, akibat kondisi yang vacuum tersebut, maka mahasiswa kebanyakan akhirnya memilih untuk lebih mengarahkan kegiatan dengan berkumpul dan berdiskusi, bersama para pemuda lainnya terutama di asrama-asrama. Tiga asrama yang terkenal dalam sejarah, berperan besar dalam melahirkan sejumlah tokoh, adalah Asrama Menteng Raya, Asrama Cikini, dan Asrama Kebon Sirih. Tokoh-tokoh inilah yang nantinya menjadi cikal bakal generasi 1945, yang menentukan kehidupan bangsa.
Salah satu peran angkatan muda 1945 yang bersejarah, dalam kasus gerakan kelompok bawah tanah yang antara lain dipimpin oleh Chairul Saleh dan Soekarni saat itu, yang terpaksa menculik dan mendesak Soekarno dan Hatta agar secepatnya memproklamirkan kemerdekaan, peristiwa ini dikenal kemudian dengan peristiwa Rengasdengklok.
[sunting] 1966
Sejak kemerdekaan, muncul kebutuhan akan aliansi antara kelompok-kelompok mahasiswa, diantaranya Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI), yang dibentuk melalui Kongres Mahasiswa yang pertama di Malang tahun 1947.
Selanjutnya, dalam masa Demokrasi Liberal (1950-1959), seiring dengan penerapan sistem kepartaian yang majemuk saat itu, organisasi mahasiswa ekstra kampus kebanyakan merupakan organisasi dibawah partai-partai politik. Misalnya, PMKRI Perhimpunan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia dengan Partai Katholik,Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dekat dengan PNI, Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) dekat dengan PKI, Gerakan Mahasiswa Sosialis Indonesia (Gemsos) dengan PSI, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) berafiliasi dengan Partai NU, kecuali Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yg tidak terikat oleh salah satu partai politik.
Diantara organisasi mahasiswa pada masa itu, CGMI lebih menonjol setelah PKI tampil sebagai salah satu partai kuat hasil Pemilu 1955. CGMI secara berani menjalankan politik konfrontasi dengan organisasi mahasiswa lainnya, bahkan lebih jauh berusaha mempengaruhi PPMI, kenyataan ini menyebabkan perseteruan sengit antara CGMI dengan HMI dan, terutama dipicu karena banyaknya jabatan kepengurusan dalam PPMI yang direbut dan diduduki oleh CGMI dan juga GMNI-khususnya setelah Konggres V tahun 1961.
Mahasiswa membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) tanggal 25 Oktober 1966 yang merupakan hasil kesepakatan sejumlah organisasi yang berhasil dipertemukan oleh Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pendidikan (PTIP) Mayjen dr. Syarief Thayeb, yakni PMKRI, HMI,PMII,Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Sekretariat Bersama Organisasi-organisasi Lokal (SOMAL), Mahasiswa Pancasila (Mapancas), dan Ikatan Pers Mahasiswa (IPMI). Tujuan pendiriannya, terutama agar para aktivis mahasiswa dalam melancarkan perlawanan terhadap PKI menjadi lebih terkoordinasi dan memiliki kepemimpinan.
Munculnya KAMI diikuti berbagai aksi lainnya, seperti Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), dan lain-lain.
Pada tahun 1965 dan 1966, pemuda dan mahasiswa Indonesia banyak terlibat dalam perjuangan yang ikut mendirikan Orde Baru. Gerakan ini dikenal dengan istilah Angkatan '66, yang menjadi awal kebangkitan gerakan mahasiswa secara nasional, sementara sebelumnya gerakan-gerakan mahasiswa masih bersifat kedaerahan. Tokoh-tokoh mahasiswa saat itu adalah mereka yang kemudian berada pada lingkar kekuasaan Orde Baru, di antaranya Cosmas Batubara (Eks Ketua Presidium KAMI Pusat), Sofyan Wanandi, Yusuf Wanandi ketiganya dari PMKRI,Akbar Tanjung dari HMI dll. Angkatan '66 mengangkat isu Komunis sebagai bahaya laten negara. Gerakan ini berhasil membangun kepercayaan masyarakat untuk mendukung mahasiswa menentang Komunis yang ditukangi oleh PKI (Partai Komunis Indonesia). Setelah Orde Lama berakhir, aktivis Angkatan '66 pun mendapat hadiah yaitu dengan banyak yang duduk di kursi DPR/MPR serta diangkat dalam kabibet pemerintahan Orde Baru. di masa ini ada salah satu tokoh yang sangat idealis,yang sampai sekarang menjadi panutan bagi mahasiswa-mahasiswa yang idealis setelah masanya,dia adalah seorang aktivis yang tidak peduli mau dimusuhi atau didekati yang penting pandangan idealisnya tercurahkan untuk bangsa ini,dia adealah soe hok gie
[sunting] 1974
Realitas berbeda yang dihadapi antara gerakan mahasiswa 1966 dan 1974, adalah bahwa jika generasi 1966 memiliki hubungan yang erat dengan kekuatan militer, untuk generasi 1974 yang dialami adalah konfrontasi dengan militer.
Sebelum gerakan mahasiswa 1974 meledak, bahkan sebelum menginjak awal 1970-an, sebenarnya para mahasiswa telah melancarkan berbagai kritik dan koreksi terhadap praktek kekuasaan rezim Orde Baru, seperti:
* Golput yang menentang pelaksanaan pemilu pertama di masa Orde Baru pada 1972 karena Golkar dinilai curang.
* Gerakan menentang pembangunan Taman Mini Indonesia Indah pada 1972 yang menggusur banyak rakyat kecil yang tinggal di lokasi tersebut.
Diawali dengan reaksi terhadap kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), aksi protes lainnya yang paling mengemuka disuarakan mahasiswa adalah tuntutan pemberantasan korupsi. Lahirlah, selanjutnya apa yang disebut gerakan "Mahasiswa Menggugat" yang dimotori Arif Budiman yang progaram utamanya adalah aksi pengecaman terhadap kenaikan BBM, dan korupsi.
Menyusul aksi-aksi lain dalam skala yang lebih luas, pada 1970 pemuda dan mahasiswa kemudian mengambil inisiatif dengan membentuk Komite Anti Korupsi (KAK) yang diketuai oleh Wilopo. Terbentuknya KAK ini dapat dilihat merupakan reaksi kekecewaan mahasiswa terhadap tim-tim khusus yang disponsori pemerintah, mulai dari Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), Task Force UI sampai Komisi Empat.
Berbagai borok pembangunan dan demoralisasi perilaku kekuasaan rezim Orde Baru terus mencuat. Menjelang Pemilu 1971, pemerintah Orde Baru telah melakukan berbagai cara dalam bentuk rekayasa politik, untuk mempertahankan dan memapankan status quo dengan mengkooptasi kekuatan-kekuatan politik masyarakat antara lain melalui bentuk perundang-undangan. Misalnya, melalui undang-undang yang mengatur tentang pemilu, partai politik, dan MPR/DPR/DPRD.
Muncul berbagai pernyataan sikap ketidakpercayaan dari kalangan masyarakat maupun mahasiswa terhadap sembilan partai politik dan Golongan Karya sebagai pembawa aspirasi rakyat. Sebagai bentuk protes akibat kekecewaan, mereka mendorang munculnya Deklarasi Golongan Putih (Golput) pada tanggal 28 Mei 1971 yang dimotori oleh Arif Budiman, Adnan Buyung Nasution, Asmara Nababan.
Dalam tahun 1972, mahasiswa juga telah melancarkan berbagai protes terhadap pemborosan anggaran negara yang digunakan untuk proyek-proyek eksklusif yang dinilai tidak mendesak dalam pembangunan,misalnya terhadap proyek pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) di saat Indonesia haus akan bantuan luar negeri.
Protes terus berlanjut. Tahun 1972, dengan isu harga beras naik, berikutnya tahun 1973 selalu diwarnai dengan isu korupsi sampai dengan meletusnya demonstrasi memprotes PM Jepang Kakuei Tanaka yang datang ke Indonesia dan peristiwa Malari pada 15 Januari 1974. Gerakan mahasiswa di Jakarta meneriakan isu "ganyang korupsi" sebagai salah satu tuntutan "Tritura Baru" disamping dua tuntutan lainnya Bubarkan Asisten Pribadi dan Turunkan Harga; sebuah versi terakhir Tritura yang muncul setelah versi koran Mahasiswa Indonesia di Bandung sebelumnya. Gerakan ini berbuntut dihapuskannya jabatan Asisten Pribadi Presiden.
[sunting] 1978
Setelah peristiwa Malari, hingga tahun 1975 dan 1976, berita tentang aksi protes mahasiswa nyaris sepi. Mahasiswa disibukkan dengan berbagai kegiatan kampus disamping kuliah sebagain kegiatan rutin, dihiasi dengan aktivitas kerja sosial, Kuliah Kerja Nyata (KKN), Dies Natalis, acara penerimaan mahasiswa baru, dan wisuda sarjana. Meskipun disana-sini aksi protes kecil tetap ada.
Menjelang dan terutama saat-saat antara sebelum dan setelah Pemilu 1977, barulah muncul kembali pergolakan mahasiswa yang berskala masif. Berbagai masalah penyimpangan politik diangkat sebagai isu, misalnya soal pemilu mulai dari pelaksanaan kampanye, sampai penusukan tanda gambar, pola rekruitmen anggota legislatif, pemilihan gubernur dan bupati di daerah-daerah, strategi dan hakekat pembangunan, sampai dengan tema-tema kecil lainnya yang bersifat lokal. Gerakan ini juga mengkritik strategi pembangunan dan kepemimpinan nasional.
Awalnya, pemerintah berusaha untuk melakukan pendekatan terhadap mahasiswa, maka pada tanggal 24 Juli 1977 dibentuklah Tim Dialog Pemerintah yang akan berkampanye di berbagai perguruan tinggi. Namun demikian, upaya tim ini ditolak oleh mahasiswa. Pada periode ini terjadinya pendudukan militer atas kampus-kampus karena mahasiswa dianggap telah melakukan pembangkangan politik, penyebab lain adalah karena gerakan mahasiswa 1978 lebih banyak berkonsentrasi dalam melakukan aksi diwilayah kampus. Karena gerakan mahasiswa tidak terpancing keluar kampus untuk menghindari peristiwa tahun 1974, maka akhirnya mereka diserbu militer dengan cara yang brutal. Hal ini kemudian diikuti oleh dihapuskannya Dewan Mahasiswa dan diterapkannya kebijakan NKK/BKK di seluruh Indonesia.
Soeharto terpilih untuk ketiga kalinya dan tuntutan mahasiswa pun tidak membuahkan hasil. Meski demikian, perjuangan gerakan mahasiswa 1978 telah meletakkan sebuah dasar sejarah, yakni tumbuhnya keberanian mahasiswa untuk menyatakan sikap terbuka untuk menggugat bahkan menolak kepemimpinan nasional.
[sunting] Era NKK/BKK
Setelah gerakan mahasiswa 1978, praktis tidak ada gerakan besar yang dilakukan mahasiswa selama beberapa tahun akibat diberlakukannya konsep Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) oleh pemerintah secara paksa.
Kebijakan NKK dilaksanakan berdasarkan SK No.0156/U/1978 sesaat setelah Dooed Yusuf dilantik tahun 1979. Konsep ini mencoba mengarahkan mahasiswa hanya menuju pada jalur kegiatan akademik, dan menjauhkan dari aktivitas politik karena dinilai secara nyata dapat membahayakan posisi rezim. Menyusul pemberlakuan konsep NKK, pemerintah dalam hal ini Pangkopkamtib Soedomo melakukan pembekuan atas lembaga Dewan Mahasiswa, sebagai gantinya pemerintah membentuk struktur keorganisasian baru yang disebut BKK. Berdasarkan SK menteri P&K No.037/U/1979 kebijakan ini membahas tentang Bentuk Susunan Lembaga Organisasi Kemahasiswaan di Lingkungan Perguruan Tinggi, dan dimantapkan dengan penjelasan teknis melalui Instruksi Dirjen Pendidikan Tinggi tahun 1978 tentang pokok-pokok pelaksanaan penataan kembali lembaga kemahasiswaan di Perguruan Tinggi.
Kebijakan BKK itu secara implisif sebenarnya melarang dihidupkannya kembali Dewan Mahasiswa, dan hanya mengijinkan pembentukan organisasi mahasiswa tingkat fakultas (Senat Mahasiswa Fakultas-SMF) dan Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas (BPMF). Namun hal yang terpenting dari SK ini terutama pemberian wewenang kekuasaan kepada rektor dan pembantu rektor untuk menentukan kegiatan mahasiswa, yang menurutnya sebagai wujud tanggung jawab pembentukan, pengarahan, dan pengembangan lembaga kemahasiswaan.
Dengan konsep NKK/BKK ini, maka peranan yang dimainkan organisasi intra dan ekstra kampus dalam melakukan kerjasama dan transaksi komunikasi politik menjadi lumpuh. Ditambah dengan munculnya UU No.8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan maka politik praktis semakin tidak diminati oleh mahasiswa, karena sebagian Ormas bahkan menjadi alat pemerintah atau golongan politik tertentu. Kondisi ini menimbulkan generasi kampus yang apatis, sementara posisi rezim semakin kuat.
Sebagai alternatif terhadap suasana birokratis dan apolitis wadah intra kampus, di awal-awal tahun 80-an muncul kelompok-kelompok studi yang dianggap mungkin tidak tersentuh kekuasaan refresif penguasa. Dalam perkembangannya eksistensi kelompok ini mulai digeser oleh kehadiran wadah-wadah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tumbuh subur pula sebagai alternatif gerakan mahasiswa. Jalur perjuangan lain ditempuh oleh para aktivis mahasiswa dengan memakai kendaraan lain untuk menghindari sikap represif pemerintah, yaitu dengan meleburkan diri dan aktif di Organisasi kemahasiswaan ekstra kampus seperti HMI (himpunan mahasiswa islam), PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia), GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia) atau yang lebih dikenal dengan kelompok Cipayung. Mereka juga membentuk kelompok-kelompok diskusi dan pers mahasiswa.
Beberapa kasus lokal yang disuarakan LSM dan komite aksi mahasiswa antara lain: kasus tanah waduk Kedung Ombo, Kacapiring, korupsi di Bapindo, penghapusan perjudian melalui Porkas/TSSB/SDSB.
[sunting] 1990
Memasuki awal tahun 1990-an, di bawah Mendikbud Fuad Hasan kebijakan NKK/BKK dicabut dan sebagai gantinya keluar Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan (PUOK). Melalui PUOK ini ditetapkan bahwa organisasi kemahasiswaan intra kampus yang diakui adalah Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT), yang didalamnya terdiri dari Senat Mahasiswa Fakultas (SMF) dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM).
Dikalangan mahasiswa secara kelembagaan dan personal terjadi pro kontra, menamggapi SK tersebut. Oleh mereka yang menerima, diakui konsep ini memiliki sejumlah kelemahan namun dipercaya dapat menjadi basis konsolidasi kekuatan gerakan mahasiswa. Argumen mahasiswa yang menolak mengatakan, bahwa konsep SMPT tidak lain hanya semacam hiden agenda untuk menarik mahasiswa ke kampus dan memotong kemungkinan aliansi mahasiswa dengan kekuatan di luar kampus.
Dalam perkembangan kemudian, banyak timbul kekecewaan di berbagai perguruan tinggi karena kegagalan konsep ini. Mahasiswa menuntut organisasi kampus yang mandiri, bebas dari pengaruh korporatisasi negara termasuk birokrasi kampus. Sehingga, tidaklah mengherankan bila akhirnya berdiri Dewan Mahasiswa di UGM tahun 1994 yang kemudian diikuti oleh berbagai perguruan tinggi di tanah air sebagai landasan bagi pendirian model organisasi kemahasiswaan alternatif yang independen.
Dengan dihidupkannya model-model kelembagaan yang lebih independen, meski tidak persis serupa dengan Dewan Mahasiswa yang pernah berjaya sebelumnya upaya perjuangan mahasiswa untuk membangun kemandirian melalui SMPT, menjadi awal kebangkitan kembali mahasiswa ditahun 1990-an.
Gerakan yang menuntut kebebasan berpendapat dalam bentuk kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik di dalam kampus pada 1987 - 1990 sehingga akhirnya demonstrasi bisa dilakukan mahasiswa di dalam kampus perguruan tinggi. Saat itu demonstrasi di luar kampus termasuk menyampaikan aspirasi dengan longmarch ke DPR/DPRD tetap terlarang.
[sunting] 1998
Gerakan 1998 menuntut reformasi dan dihapuskannya "KKN" (korupsi, kolusi dan nepotisme) pada 1997-1998, lewat pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa, akhirnya memaksa Presiden Soeharto melepaskan jabatannya. Berbagai tindakan represif yang menewaskan aktivis mahasiswa dilakukan pemerintah untuk meredam gerakan ini di antaranya: Peristiwa Cimanggis, Peristiwa Gejayan, Tragedi Trisakti, Tragedi Semanggi I dan II , Tragedi Lampung. Gerakan ini terus berlanjut hingga pemilu 1999.
Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, gerakan mahasiswa seringkali menjadi cikal bakal perjuangan nasional, seperti yang tampak dalam lembaran sejarah bangsa.
SEJRAH
1908
Boedi Oetomo, merupakan wadah perjuangan yang pertama kali memiliki struktur pengorganisasian modern. Didirikan di Jakarta, 20 Mei 1908 oleh pemuda-pelajar-mahasiswa dari lembaga pendidikan STOVIA, wadah ini merupakan refleksi sikap kritis dan keresahan intelektual terlepas dari primordialisme Jawa yang ditampilkannya.
Pada konggres yang pertama di Yogyakarta, tanggal 5 Oktober 1908 menetapkan tujuan perkumpulan : Kemajuan yang selaras buat negeri dan bangsa, terutama dengan memajukan pengajaran, pertanian, peternakan dan dagang, teknik dan industri, serta kebudayaan.
Dalam 5 tahun permulaan BU sebagai perkumpulan, tempat keinginan-keinginan bergerak maju dapat dikeluarkan, tempat kebaktian terhadap bangsa dinyatakan, mempunyai kedudukan monopoli dan oleh karena itu BU maju pesat, tercatat akhir tahun 1909 telah mempunyai 40 cabang dengan lk.10.000 anggota.
Disamping itu, para mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Belanda, salah satunya Mohammad Hatta yang saat itu sedang belajar di Nederland Handelshogeschool di Rotterdam mendirikan Indische Vereeninging yang kemudian berubah nama menjadi Indonesische Vereeninging tahun 1922, disesuaikan dengan perkembangan dari pusat kegiatan diskusi menjadi wadah yang berorientasi politik dengan jelas. Dan terakhir untuk lebih mempertegas identitas nasionalisme yang diperjuangkan, organisasi ini kembali berganti nama baru menjadi Perhimpunan Indonesia, tahun 1925.
Berdirinya Indische Vereeninging dan organisasi-organisasi lain,seperti: Indische Partij yang melontarkan propaganda kemerdekaan Indonesia, Sarekat Islam, dan Muhammadiyah yang beraliran nasionalis demokratis dengan dasar agama, Indische Sociaal Democratische Vereeninging (ISDV) yang berhaluan Marxisme, menambah jumlah haluan dan cita-cita terutama ke arah politik. Hal ini di satu sisi membantu perjuangan rakyat Indonesia, tetapi di sisi lain sangat melemahkan BU karena banyak orang kemudian memandang BU terlalu lembek oleh karena hanya menuju "kemajuan yang selaras" dan terlalu sempit keanggotaannya (hanya untuk daerah yang berkebudayaan Jawa) meninggalkan BU. Oleh karena cita-cita dan pemandangan umum berubah ke arah politik, BU juga akhirnya terpaksa terjun ke lapangan politik.
Kehadiran Boedi Oetomo,Indische Vereeninging, dll pada masa itu merupakan suatu episode sejarah yang menandai munculnya sebuah angkatan pembaharu dengan kaum terpelajar dan mahasiswa sebagai aktor terdepannya, yang pertama dalam sejarah Indonesia : generasi 1908, dengan misi utamanya menumbuhkan kesadaran kebangsaan dan hak-hak kemanusiaan dikalangan rakyat Indonesia untuk memperoleh kemerdekaan, dan mendorong semangat rakyat melalui penerangan-penerangan pendidikan yang mereka berikan, untuk berjuang membebaskan diri dari penindasan kolonialisme.
[sunting] 1928
Pada pertengahan 1923, serombongan mahasiswa yang bergabung dalam Indonesische Vereeninging (nantinya berubah menjadi Perhimpunan Indonesia) kembali ke tanah air. Kecewa dengan perkembangan kekuatan-kekuatan perjuangan di Indonesia, dan melihat situasi politik yang di hadapi, mereka membentuk kelompok studi yang dikenal amat berpengaruh, karena keaktifannya dalam diskursus kebangsaan saat itu. Pertama, adalah Kelompok Studi Indonesia (Indonesische Studie-club) yang dibentuk di Surabaya pada tanggal 29 Oktober 1924 oleh Soetomo. Kedua, Kelompok Studi Umum (Algemeene Studie-club) direalisasikan oleh para nasionalis dan mahasiswa Sekolah Tinggi Teknik di Bandung yang dimotori oleh Soekarno pada tanggal 11 Juli 1925.
Diinspirasi oleh pembentukan Kelompok Studi Surabaya dan Bandung, menyusul kemudian Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), prototipe organisasi yang menghimpun seluruh elemen gerakan mahasiswa yang bersifat kebangsaan tahun 1926, Kelompok Studi St. Bellarmius yang menjadi wadah mahasiswa Katolik, Cristelijke Studenten Vereninging (CSV) bagi mahasiswa Kristen, dan Studenten Islam Studie-club (SIS) bagi mahasiswa Islam pada tahun 1930-an.
Dari kebangkitan kaum terpelajar, mahasiswa, intelektual, dan aktivis pemuda itulah, munculnya generasi baru pemuda Indonesia yang memunculkan Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Sumpah Pemuda dicetuskan melalui Konggres Pemuda II yang berlangsung di Jakarta pada 26-28 Oktober 1928, dimotori oleh PPPI.
[sunting] 1945
Dalam perkembangan berikutnya, dari dinamika pergerakan nasional yang ditandai dengan kehadiran kelompok-kelompok studi, dan akibat pengaruh sikap penguasa Belanda yang menjadi Liberal, muncul kebutuhan baru untuk menjadi partai politik, terutama dengan tujuan memperoleh basis massa yang luas. Kelompok Studi Indonesia berubah menjadi Partai Bangsa Indonesia (PBI), sedangkan Kelompok Studi Umum menjadi Perserikatan Nasional Indonesia (PNI).
Secara umum kondisi pendidikan maupun kehidupan politik pada zaman pemerintahan Jepang jauh lebih represif dibandingkan dengan kolonial Belanda, antara lain dengan melakukan pelarangan terhadap segala kegiatan yang berbau politik; dan hal ini ditindak lanjuti dengan membubarkan segala organisasi pelajar dan mahasiswa, termasuk partai politik, serta insiden kecil di Sekolah Tinggi Kedokteran Jakarta yang mengakibatkan mahasiswa dipecat dan dipenjarakan.
Praktis, akibat kondisi yang vacuum tersebut, maka mahasiswa kebanyakan akhirnya memilih untuk lebih mengarahkan kegiatan dengan berkumpul dan berdiskusi, bersama para pemuda lainnya terutama di asrama-asrama. Tiga asrama yang terkenal dalam sejarah, berperan besar dalam melahirkan sejumlah tokoh, adalah Asrama Menteng Raya, Asrama Cikini, dan Asrama Kebon Sirih. Tokoh-tokoh inilah yang nantinya menjadi cikal bakal generasi 1945, yang menentukan kehidupan bangsa.
Salah satu peran angkatan muda 1945 yang bersejarah, dalam kasus gerakan kelompok bawah tanah yang antara lain dipimpin oleh Chairul Saleh dan Soekarni saat itu, yang terpaksa menculik dan mendesak Soekarno dan Hatta agar secepatnya memproklamirkan kemerdekaan, peristiwa ini dikenal kemudian dengan peristiwa Rengasdengklok.
[sunting] 1966
Sejak kemerdekaan, muncul kebutuhan akan aliansi antara kelompok-kelompok mahasiswa, diantaranya Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI), yang dibentuk melalui Kongres Mahasiswa yang pertama di Malang tahun 1947.
Selanjutnya, dalam masa Demokrasi Liberal (1950-1959), seiring dengan penerapan sistem kepartaian yang majemuk saat itu, organisasi mahasiswa ekstra kampus kebanyakan merupakan organisasi dibawah partai-partai politik. Misalnya, PMKRI Perhimpunan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia dengan Partai Katholik,Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dekat dengan PNI, Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) dekat dengan PKI, Gerakan Mahasiswa Sosialis Indonesia (Gemsos) dengan PSI, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) berafiliasi dengan Partai NU, kecuali Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yg tidak terikat oleh salah satu partai politik.
Diantara organisasi mahasiswa pada masa itu, CGMI lebih menonjol setelah PKI tampil sebagai salah satu partai kuat hasil Pemilu 1955. CGMI secara berani menjalankan politik konfrontasi dengan organisasi mahasiswa lainnya, bahkan lebih jauh berusaha mempengaruhi PPMI, kenyataan ini menyebabkan perseteruan sengit antara CGMI dengan HMI dan, terutama dipicu karena banyaknya jabatan kepengurusan dalam PPMI yang direbut dan diduduki oleh CGMI dan juga GMNI-khususnya setelah Konggres V tahun 1961.
Mahasiswa membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) tanggal 25 Oktober 1966 yang merupakan hasil kesepakatan sejumlah organisasi yang berhasil dipertemukan oleh Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pendidikan (PTIP) Mayjen dr. Syarief Thayeb, yakni PMKRI, HMI,PMII,Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Sekretariat Bersama Organisasi-organisasi Lokal (SOMAL), Mahasiswa Pancasila (Mapancas), dan Ikatan Pers Mahasiswa (IPMI). Tujuan pendiriannya, terutama agar para aktivis mahasiswa dalam melancarkan perlawanan terhadap PKI menjadi lebih terkoordinasi dan memiliki kepemimpinan.
Munculnya KAMI diikuti berbagai aksi lainnya, seperti Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), dan lain-lain.
Pada tahun 1965 dan 1966, pemuda dan mahasiswa Indonesia banyak terlibat dalam perjuangan yang ikut mendirikan Orde Baru. Gerakan ini dikenal dengan istilah Angkatan '66, yang menjadi awal kebangkitan gerakan mahasiswa secara nasional, sementara sebelumnya gerakan-gerakan mahasiswa masih bersifat kedaerahan. Tokoh-tokoh mahasiswa saat itu adalah mereka yang kemudian berada pada lingkar kekuasaan Orde Baru, di antaranya Cosmas Batubara (Eks Ketua Presidium KAMI Pusat), Sofyan Wanandi, Yusuf Wanandi ketiganya dari PMKRI,Akbar Tanjung dari HMI dll. Angkatan '66 mengangkat isu Komunis sebagai bahaya laten negara. Gerakan ini berhasil membangun kepercayaan masyarakat untuk mendukung mahasiswa menentang Komunis yang ditukangi oleh PKI (Partai Komunis Indonesia). Setelah Orde Lama berakhir, aktivis Angkatan '66 pun mendapat hadiah yaitu dengan banyak yang duduk di kursi DPR/MPR serta diangkat dalam kabibet pemerintahan Orde Baru. di masa ini ada salah satu tokoh yang sangat idealis,yang sampai sekarang menjadi panutan bagi mahasiswa-mahasiswa yang idealis setelah masanya,dia adalah seorang aktivis yang tidak peduli mau dimusuhi atau didekati yang penting pandangan idealisnya tercurahkan untuk bangsa ini,dia adealah soe hok gie
[sunting] 1974
Realitas berbeda yang dihadapi antara gerakan mahasiswa 1966 dan 1974, adalah bahwa jika generasi 1966 memiliki hubungan yang erat dengan kekuatan militer, untuk generasi 1974 yang dialami adalah konfrontasi dengan militer.
Sebelum gerakan mahasiswa 1974 meledak, bahkan sebelum menginjak awal 1970-an, sebenarnya para mahasiswa telah melancarkan berbagai kritik dan koreksi terhadap praktek kekuasaan rezim Orde Baru, seperti:
* Golput yang menentang pelaksanaan pemilu pertama di masa Orde Baru pada 1972 karena Golkar dinilai curang.
* Gerakan menentang pembangunan Taman Mini Indonesia Indah pada 1972 yang menggusur banyak rakyat kecil yang tinggal di lokasi tersebut.
Diawali dengan reaksi terhadap kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), aksi protes lainnya yang paling mengemuka disuarakan mahasiswa adalah tuntutan pemberantasan korupsi. Lahirlah, selanjutnya apa yang disebut gerakan "Mahasiswa Menggugat" yang dimotori Arif Budiman yang progaram utamanya adalah aksi pengecaman terhadap kenaikan BBM, dan korupsi.
Menyusul aksi-aksi lain dalam skala yang lebih luas, pada 1970 pemuda dan mahasiswa kemudian mengambil inisiatif dengan membentuk Komite Anti Korupsi (KAK) yang diketuai oleh Wilopo. Terbentuknya KAK ini dapat dilihat merupakan reaksi kekecewaan mahasiswa terhadap tim-tim khusus yang disponsori pemerintah, mulai dari Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), Task Force UI sampai Komisi Empat.
Berbagai borok pembangunan dan demoralisasi perilaku kekuasaan rezim Orde Baru terus mencuat. Menjelang Pemilu 1971, pemerintah Orde Baru telah melakukan berbagai cara dalam bentuk rekayasa politik, untuk mempertahankan dan memapankan status quo dengan mengkooptasi kekuatan-kekuatan politik masyarakat antara lain melalui bentuk perundang-undangan. Misalnya, melalui undang-undang yang mengatur tentang pemilu, partai politik, dan MPR/DPR/DPRD.
Muncul berbagai pernyataan sikap ketidakpercayaan dari kalangan masyarakat maupun mahasiswa terhadap sembilan partai politik dan Golongan Karya sebagai pembawa aspirasi rakyat. Sebagai bentuk protes akibat kekecewaan, mereka mendorang munculnya Deklarasi Golongan Putih (Golput) pada tanggal 28 Mei 1971 yang dimotori oleh Arif Budiman, Adnan Buyung Nasution, Asmara Nababan.
Dalam tahun 1972, mahasiswa juga telah melancarkan berbagai protes terhadap pemborosan anggaran negara yang digunakan untuk proyek-proyek eksklusif yang dinilai tidak mendesak dalam pembangunan,misalnya terhadap proyek pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) di saat Indonesia haus akan bantuan luar negeri.
Protes terus berlanjut. Tahun 1972, dengan isu harga beras naik, berikutnya tahun 1973 selalu diwarnai dengan isu korupsi sampai dengan meletusnya demonstrasi memprotes PM Jepang Kakuei Tanaka yang datang ke Indonesia dan peristiwa Malari pada 15 Januari 1974. Gerakan mahasiswa di Jakarta meneriakan isu "ganyang korupsi" sebagai salah satu tuntutan "Tritura Baru" disamping dua tuntutan lainnya Bubarkan Asisten Pribadi dan Turunkan Harga; sebuah versi terakhir Tritura yang muncul setelah versi koran Mahasiswa Indonesia di Bandung sebelumnya. Gerakan ini berbuntut dihapuskannya jabatan Asisten Pribadi Presiden.
[sunting] 1978
Setelah peristiwa Malari, hingga tahun 1975 dan 1976, berita tentang aksi protes mahasiswa nyaris sepi. Mahasiswa disibukkan dengan berbagai kegiatan kampus disamping kuliah sebagain kegiatan rutin, dihiasi dengan aktivitas kerja sosial, Kuliah Kerja Nyata (KKN), Dies Natalis, acara penerimaan mahasiswa baru, dan wisuda sarjana. Meskipun disana-sini aksi protes kecil tetap ada.
Menjelang dan terutama saat-saat antara sebelum dan setelah Pemilu 1977, barulah muncul kembali pergolakan mahasiswa yang berskala masif. Berbagai masalah penyimpangan politik diangkat sebagai isu, misalnya soal pemilu mulai dari pelaksanaan kampanye, sampai penusukan tanda gambar, pola rekruitmen anggota legislatif, pemilihan gubernur dan bupati di daerah-daerah, strategi dan hakekat pembangunan, sampai dengan tema-tema kecil lainnya yang bersifat lokal. Gerakan ini juga mengkritik strategi pembangunan dan kepemimpinan nasional.
Awalnya, pemerintah berusaha untuk melakukan pendekatan terhadap mahasiswa, maka pada tanggal 24 Juli 1977 dibentuklah Tim Dialog Pemerintah yang akan berkampanye di berbagai perguruan tinggi. Namun demikian, upaya tim ini ditolak oleh mahasiswa. Pada periode ini terjadinya pendudukan militer atas kampus-kampus karena mahasiswa dianggap telah melakukan pembangkangan politik, penyebab lain adalah karena gerakan mahasiswa 1978 lebih banyak berkonsentrasi dalam melakukan aksi diwilayah kampus. Karena gerakan mahasiswa tidak terpancing keluar kampus untuk menghindari peristiwa tahun 1974, maka akhirnya mereka diserbu militer dengan cara yang brutal. Hal ini kemudian diikuti oleh dihapuskannya Dewan Mahasiswa dan diterapkannya kebijakan NKK/BKK di seluruh Indonesia.
Soeharto terpilih untuk ketiga kalinya dan tuntutan mahasiswa pun tidak membuahkan hasil. Meski demikian, perjuangan gerakan mahasiswa 1978 telah meletakkan sebuah dasar sejarah, yakni tumbuhnya keberanian mahasiswa untuk menyatakan sikap terbuka untuk menggugat bahkan menolak kepemimpinan nasional.
[sunting] Era NKK/BKK
Setelah gerakan mahasiswa 1978, praktis tidak ada gerakan besar yang dilakukan mahasiswa selama beberapa tahun akibat diberlakukannya konsep Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) oleh pemerintah secara paksa.
Kebijakan NKK dilaksanakan berdasarkan SK No.0156/U/1978 sesaat setelah Dooed Yusuf dilantik tahun 1979. Konsep ini mencoba mengarahkan mahasiswa hanya menuju pada jalur kegiatan akademik, dan menjauhkan dari aktivitas politik karena dinilai secara nyata dapat membahayakan posisi rezim. Menyusul pemberlakuan konsep NKK, pemerintah dalam hal ini Pangkopkamtib Soedomo melakukan pembekuan atas lembaga Dewan Mahasiswa, sebagai gantinya pemerintah membentuk struktur keorganisasian baru yang disebut BKK. Berdasarkan SK menteri P&K No.037/U/1979 kebijakan ini membahas tentang Bentuk Susunan Lembaga Organisasi Kemahasiswaan di Lingkungan Perguruan Tinggi, dan dimantapkan dengan penjelasan teknis melalui Instruksi Dirjen Pendidikan Tinggi tahun 1978 tentang pokok-pokok pelaksanaan penataan kembali lembaga kemahasiswaan di Perguruan Tinggi.
Kebijakan BKK itu secara implisif sebenarnya melarang dihidupkannya kembali Dewan Mahasiswa, dan hanya mengijinkan pembentukan organisasi mahasiswa tingkat fakultas (Senat Mahasiswa Fakultas-SMF) dan Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas (BPMF). Namun hal yang terpenting dari SK ini terutama pemberian wewenang kekuasaan kepada rektor dan pembantu rektor untuk menentukan kegiatan mahasiswa, yang menurutnya sebagai wujud tanggung jawab pembentukan, pengarahan, dan pengembangan lembaga kemahasiswaan.
Dengan konsep NKK/BKK ini, maka peranan yang dimainkan organisasi intra dan ekstra kampus dalam melakukan kerjasama dan transaksi komunikasi politik menjadi lumpuh. Ditambah dengan munculnya UU No.8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan maka politik praktis semakin tidak diminati oleh mahasiswa, karena sebagian Ormas bahkan menjadi alat pemerintah atau golongan politik tertentu. Kondisi ini menimbulkan generasi kampus yang apatis, sementara posisi rezim semakin kuat.
Sebagai alternatif terhadap suasana birokratis dan apolitis wadah intra kampus, di awal-awal tahun 80-an muncul kelompok-kelompok studi yang dianggap mungkin tidak tersentuh kekuasaan refresif penguasa. Dalam perkembangannya eksistensi kelompok ini mulai digeser oleh kehadiran wadah-wadah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tumbuh subur pula sebagai alternatif gerakan mahasiswa. Jalur perjuangan lain ditempuh oleh para aktivis mahasiswa dengan memakai kendaraan lain untuk menghindari sikap represif pemerintah, yaitu dengan meleburkan diri dan aktif di Organisasi kemahasiswaan ekstra kampus seperti HMI (himpunan mahasiswa islam), PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia), GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia) atau yang lebih dikenal dengan kelompok Cipayung. Mereka juga membentuk kelompok-kelompok diskusi dan pers mahasiswa.
Beberapa kasus lokal yang disuarakan LSM dan komite aksi mahasiswa antara lain: kasus tanah waduk Kedung Ombo, Kacapiring, korupsi di Bapindo, penghapusan perjudian melalui Porkas/TSSB/SDSB.
[sunting] 1990
Memasuki awal tahun 1990-an, di bawah Mendikbud Fuad Hasan kebijakan NKK/BKK dicabut dan sebagai gantinya keluar Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan (PUOK). Melalui PUOK ini ditetapkan bahwa organisasi kemahasiswaan intra kampus yang diakui adalah Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT), yang didalamnya terdiri dari Senat Mahasiswa Fakultas (SMF) dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM).
Dikalangan mahasiswa secara kelembagaan dan personal terjadi pro kontra, menamggapi SK tersebut. Oleh mereka yang menerima, diakui konsep ini memiliki sejumlah kelemahan namun dipercaya dapat menjadi basis konsolidasi kekuatan gerakan mahasiswa. Argumen mahasiswa yang menolak mengatakan, bahwa konsep SMPT tidak lain hanya semacam hiden agenda untuk menarik mahasiswa ke kampus dan memotong kemungkinan aliansi mahasiswa dengan kekuatan di luar kampus.
Dalam perkembangan kemudian, banyak timbul kekecewaan di berbagai perguruan tinggi karena kegagalan konsep ini. Mahasiswa menuntut organisasi kampus yang mandiri, bebas dari pengaruh korporatisasi negara termasuk birokrasi kampus. Sehingga, tidaklah mengherankan bila akhirnya berdiri Dewan Mahasiswa di UGM tahun 1994 yang kemudian diikuti oleh berbagai perguruan tinggi di tanah air sebagai landasan bagi pendirian model organisasi kemahasiswaan alternatif yang independen.
Dengan dihidupkannya model-model kelembagaan yang lebih independen, meski tidak persis serupa dengan Dewan Mahasiswa yang pernah berjaya sebelumnya upaya perjuangan mahasiswa untuk membangun kemandirian melalui SMPT, menjadi awal kebangkitan kembali mahasiswa ditahun 1990-an.
Gerakan yang menuntut kebebasan berpendapat dalam bentuk kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik di dalam kampus pada 1987 - 1990 sehingga akhirnya demonstrasi bisa dilakukan mahasiswa di dalam kampus perguruan tinggi. Saat itu demonstrasi di luar kampus termasuk menyampaikan aspirasi dengan longmarch ke DPR/DPRD tetap terlarang.
[sunting] 1998
Gerakan 1998 menuntut reformasi dan dihapuskannya "KKN" (korupsi, kolusi dan nepotisme) pada 1997-1998, lewat pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa, akhirnya memaksa Presiden Soeharto melepaskan jabatannya. Berbagai tindakan represif yang menewaskan aktivis mahasiswa dilakukan pemerintah untuk meredam gerakan ini di antaranya: Peristiwa Cimanggis, Peristiwa Gejayan, Tragedi Trisakti, Tragedi Semanggi I dan II , Tragedi Lampung. Gerakan ini terus berlanjut hingga pemilu 1999.
Kamis, 18 November 2010
MENGEMBALIKAN JATIDIRI MAHASISWA
Kebelakangan ini, peranan mahasiswa yang dianggap sebagai agen arus perubahan yang diinginkan masyarakat bergema semula. Pandangan masyarakat terhadap mahasiswa sebagai kelompok intelektual dan sebagai agen gerakan pembaharuan, hendaklah menyadarkan kita (mahasiswa) sebagai kelompok intelektual muda.
Dalam hal itu, mahasiswa dituntut untuk dapat berperanan lebih nyata terhadap perubahan atau paling tidak menjadi pendokong dari sebuah perubahan ke arah yang lebih baik. Kesadaran yang tumbuh dalam masyarakat untuk melakukan perubahan terhadap sistem yang cenderung berorientasi pada kekuasaan yang membelenggu demokrasi, menuntut peranan yang lebih dari mahasiswa sebagai agen perubahan serta sebagai mekanisma kawalan.
Kedudukan mahasiswa sebagai mekanisma kawalan, bermaksud sebagai pengimbang kepada kekuasaan yang ada pada pemerintah. Tugas tersebut, idealnya memang dilakukan oleh partai politik, namun sayang hal itu tidak berlaku, bahkan dimandulkan oleh kekuasaan yang tidak mengenal apa yang dikatakan "kritikan". Dalam konteks itulah, letak peranan mahasiswa sebagai agent of social control serta sebagai agent of change.
Namun kalau dinilai, gerakan mahasiswa yang baru saja dibahas, sepertinya tidak mempunyai visi yang jelas serta kehilangan konsep. Itu semua, disebabkan karena kesadaran mahasiswa akan suatu gerakan belum sepenuhnya terbuka, dan bahkan cenderung bersifat euforia. Hanya beberapa mahasiswa saja, yang benar-benar konsisten serta matang dalam menggagas gerakan pembaharuan.
Gerakan Mahasiswa
Kalau kita bandingkan mahasiswa sekarang dengan mahasiswa dahulu, sangatlah jauh berbeza. Dulu, mahasiswa dengan idealismenya dapat menjadi payung kepada masyarakat marhain yang perlukan pembelaan. Peristiwa Baling 1974 adalah manifestasi jelas peranan mahasiswa yang dimaksudkan.
Semangat juang yang digerakkan oleh pemimpin-pemimpin mahasiswa waktu itu, dengan setiap saat melakukan penyadaran terhadap rakyat, berhasil menghasilkan beberapa orang pemimpin ternama hari ini
Bandingkan hal tersebut dengan mahasiswa sekarang, yang mengalami degradasi, baik dari segi intelektualisme, idealisme, patriotisme, maupun semangat jati diri mereka. Mahasiswa sekarang, cenderung untuk berpikir pragmatis dalam menghadapi persoalan.
Ada dua persoalan yang mendasari analisis mengenai sebab-sebab hal tersebut, sehingga mahasiswa lebih bersikap hedonis. Pertama, pengaruh budaya Barat yang tidak tersekat telah meracuni pemuda dan mahasiswa. Mereka dengan mudah meniru budaya asing tanpa menyadari risikonya, seperti berpesta-pestaan, dan menghabiskan masa kepada perkara-perkara yang lansung tidak bermenafaat.
Kedua, adanya pengaruh dari sistem pendidikan yang membentuk mentaliti mahasiswa. Ternyata, pola atau sistem yang digunakan oleh Orde Baru untuk melenyapkan idealisme serta daya kritis sangatlah ampuh dan efektif, yaitu dengan menerapkan sistem kapitalis dalam bidang ekonomi yang cenderung konsumtif.
Di samping itu, sistem yang diterapkan dalam pendidikan, yang berteraskan lulus peperiksaan membentuk pola pikir serta mentaliti mahasiswa, ternyata hanya menjadikan mereka sebagai kuli.
Mulai dari sekolah rendah, kita dihulur dengan ilmu yang bersifat dogma, serta sejarah yang dimanipulasi sedemikian rupa. Itu pun kita terima sebagai dogma.
Dalam sistem persekolahan menengah pun, pada saat ini sama saja seperti itu. Sebab, kita diajari untuk mempelajari ilmunya dengan orientasi kerja. Jadi, kemerdekaan berfikir serta mempelajari ilmu serasa dibelenggu sistem yang membawanya pada orientasi tersebut.
Sistem GPA/CGPA yang diterapkan dengan kaku dan diperburukkan dengan kos pendidikan yang tinggi membebani mahasiswa, mempunyai implikasi yang sangat besar terhadap daya kritis mahasiswa serta idelismenya. Sebab, mahasiswa dituntut secara penuh berfikir mengenai hal-hal akademis semata-mata disamping tidak memikirkan soal-soal kerakyatan jika ingin terus menuntut di universiti.
Kondisi seperti itu, menjadikan kampus benar-benar menjadi suatu menara gading dan jauh dari jangkauan kalangan masyarakat kecil. Mahasiswa menjadi kelas yang elite dan sama sekali tidak tersentuh dengan persoalan kerakyatan.
Dari sistem seperti itu, terbentuklah mentaliti mahasiswa yang saat ini kita rasakan hedonis dan pragmatis, sebab kita dari awal dicetak untuk hidup yang serba praktis dan tidak mencoba berdialog dalam setiap pemikiran. Kita terjebak dengan hanya berdebat di bilik kuliah.
Jarang sekali mahasiswa cuba berfikir tentang persoalan kerakyatan, keagamaan, atau pun bagaimana konsep memajukan bangsa di era globalisasi ini. Mereka lebih suka diajak bersenang-senang untuk kepentingan pribadi yang bersifat sesaat, seperti kegiatan rekreatif (jika dibanding dengan kegiatan ilmiah).
Melihat fenomena tersebut, maka kita mempunyai kewajiban untuk mengubah mentalitas yang hedonis dan pragmatis tersebut kembali kepada jati diri mahasiswa, yang mempunyai idealisme tinggi. Salah satu jalan alternatif untuk itu adalah dengan menghadapkan langsung mahasiswa pada persoalan-persoalan kerakyatan.
Di samping itu, supaya berjalan seimbang, fungsi unversiti sebagai fungsi pengabdian masyarakat harus dilaksanakan tidak hanya terbatas pada simbol, tetapi benar-benar real di dalam aplikasinya. Hal itu, dimaksudkan untuk menolak pandangan kampus sebagai menara gading. Dengan begitu, idealisme serta daya kritis mahasiswa yang terasa hilang akan dapat dibangunkan kembali.
Rabu, 17 November 2010
Mahasiswa = Apatis/ Pragmatis/ Hedonis
Manusia memiliki kecenderungan dalam hidupnya. Kecenderungan untuk menghindari rasa sakit dan mengusahakan rasa nikmat. Kecenderungan ini bersifat individual yang kuat dan dalam masyarakat prakteknya antar individu memiliki kada dan metode yang unik antara yang satu dengan yang lainnya. Tidak sedikit individu menjadikan nikmat sebagai tujuanutama dalam hidupnya dan menomorsekiankan sekian hal yan g lebih bermakna untuk hidupnya baik secara langsung atau tidak.
Pada dasarnya, nikmat itu sebenarnya tidak dapat dijadikan tujuan utama kita dalam melangkah. Nikmat justru akan menghilang kalau kita jadikan tujuan utama, akan tetapi nikmat itu sebenarnya ada di balik setiap tindakan bermakna yang kita kerjakan. Nikmat akan setia mengikuti setiap tindakan bermakna kita. Manusia hidup bijaksana semakin ia mengembangkan diri secara utuh. Pengembangan diri ini yang harus kita garis bawahi dan temukan apa dan bagaimana sebenarnya yang harus direncanakan.
Orang tidak berkembang dengan memandang, merenung, dan merefleksikan diri (meski kadang itu perlu) melainkan dengan melihat keluar, dengan menjawab apa yang dalam situasi tertentu diharapkan dari kita. Kesalahan persepsi personal (khususnya para pemuda) dalam dinamika kehidupan mengarahkan mereka pada karakter apatis, hedonis, dan pragmatis. Dengan hanya memandang, merenung dan merefleksikan saja, mereka anggap itu semua yang terbaik dan seharusnya mereka lakukan. Kalaupun harus menganalogikan dalam lingkup agama, sifat ini hanya pada tataran mengaku beragama, merenungkan ajaran yang ada di dalamnya dan merefleksikan terhadap dirinya tanpa adanya prakterk real yang benar-benar keluar secara murni untuk beribadah sesuai kepercayaannya.
Pola hidup yang pragmatis terkadang bisa kita benarkan. Pada hakikatnya memang setiap keterampilan dan ajaran begitu pula tindakan dan keputusan tampaknya mengejar salah satu nilai. Akan tetapi, nilai ini menjadikan tolak ukur apakah kita sudah maksimal mengembangkan diri secara utuh untuk menjadi manusia yang bijak. Nilai yang kita jadikan sasaran utama apakah merupakan nilai tertinggi yang bisa dicapai dalam upayanya (tentu dengan tindakan penuh makna). Nilai-nilai ini dalam setiap tindakan yang akan memberikan bandrol berkualitas tinggi, sedang atau rendah atau bahkan buruk dari si pelakunya.
Melihat fenomena yang terjadi pada kaum intelektual kita "mahasiswa", mereka datang dari latar belakang yang unik begitu juga dengan "nilai" sebagai tujuan utama merekapun pastinya juga unik. Nilai tertinggi yang mereka anggap dapat mereka representasikan berbeda kadarnya. Semisal, mahasiswa akademisi berpandangan ilmu saluran dari pengajar dan buku ajar yang disedikan sudah begitu kaya bagi mereka. Tujuan mereka tidak lain adalah abjad sebagai representasi nilai kumulatif yang akan mereka terima di akhir semester (terlepas penilaian itu bersifat subjektif atau objektif). Mahasiswa ini sering mendapat perlakuan istimewa dari pihak lembaga, padahal kontribusi yang mereka berikan tidaklah jelas, bahkan hanya utuk dirinya sendiri. Kelompok mahasiswa ini bisa dianalogikan sebagai "mahasiswa bebek", mudah digiring kemana saja sesuai kebijakan.
Berbeda dengan mahasiswa berlabel organisatoris, dimana mereka belajar tidak hanya pada teori saja, melainkan terjun langsung dalam praktek miniatur sebuah masyarakat. Sebagai manusia dengan jiwa sosialnya. Mahasiswa ini akan selalu menjadi pertimbangan lembaga dalam menentukan setiap kebijakan. Mahasiswa ini sadar peranannya sebagai kaum intelek, dimana turut menjadi bagian dari perubahan setiap fenomena yang nampak tidak sinergis, menjadi kontrol dari setiap kebijakan.
Kita harus menyadari bahwa pendidikan itu lebih dari sekedar semacam pengkondisian, tapi pembiasaan belajar melakukan secara rutin, gampang dan seakan-akan dengansendirinya merupakan unsur penting dalam pembangunan karakter seseorang.
Pendidikan sebenarnya memberikan dua tawaran, yakni episme : ketajaman pengetahuan ilmian dan phronesis : kebijakan praktis (tidak dapat dipelajari dari buku melainkan berdasar pengalaman). Phronesis sangat diperlukan dalam setiap permasalahan dalam pengambilankeputusan dan tindakan yang bersumber dari realita yang pernah dialami. Akan tetapi, terkadang episme juga diperlukan dalam beberapa kasus yang membutuhkan kajian ilmiah sebagai pisau bedah.
Semua kita kembalikan pada pribadi kita masing-masing. Tergantung kita dalam menentukan nilai yang akan kita dapatkan serta label mutu yang akan kita terima dengan sendirinya. Bergantung pada bagaimana kita mengkonsep sedemikian rupa langkah kita serta tindakan-tindakan bermakna yang kita lakukan dalam konsep itu. Sudah jelas sekarang, hasil akhir bukanlah tujuanutama melainkan proses adalaha harga mati bagi mereka yang mau memaknainya.
Selasa, 16 November 2010
Gerakan Mahasiswa di Persimpangan Jalan
Reformasi Indonesia berangkat dari ketidakpuasan rakyat Indonesia terhadap kinerja pemerintahan Orde Baru. Sebab, tanpa harus menutupi-nutupi kesalahan, hampir semua kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah selalu menguntungkan para penguasa Orde Baru. Rakyat kecil ditindas, nepotisme terjadi di semua lini, kolusi selalu mewarnai kebijakan yang dibuat pemerintah.
Baru pada tahun 1998 muncul keberanian dari beberapa kelompok untuk melepaskan diri dari kediktatoran rezim Orde Baru yang dipelopori oleh mahasiswa. Hampir seluruh rakyat Indonesia berduyun-duyun menyuarakan kebebasan (freedom) di seluruh pelosok Ibu Pertiwi. Reformasi mencoba mengusung beberapa agenda dasar untuk menuju perubahan Indonesia pada masa yang akan datang. Reformasi tidak hanya terjadi pada dataran politik, tapi hampir semua lini mengalami reformasi, baik ekonomi, pendidikan, maupun budaya.
Harapan-harapan menuju kehidupan yang lebih baik mulai digantungkan, seolah-olah reformasi bisa mengubah nasib ribuan rakyat Indonesia ke depan. Tapi, hasil yang didapat berbanding terbalik dengan yang diharapkan oleh rakyat Indonesia. Di sini kita juga harus menyadari bahwa reformasi bukanlah sebuah barang jadi yang siap pakai. Tapi, reformasi adalah langkah awal menuju jalan kebenaran dan kemerdekaan sesungguhnya. Untuk itu, masih diperlukan perdebatan yang panjang guna merumuskan arah dan warna
Indonesia ke depan.
Sungguh sangat menyakitkan kalau kita kembali melihat perjalanan sejarah kelam bangsa Indonesia. Ketika itu bangsa Indonesia mencoba melepaskan diri dari pemerintahan otoriter Presiden Soeharto yang lebih dikenal dengan sebutan gerakan reformasi. Hal ini dibuktikan dengan lengsernya Soeharto dari tampuk kekuasaannya pada 21 Mei 1998.Namun, reformasi harus dibayar mahal oleh rakyat Indonesia Tidak sedikit nyawa yang tidak berdosa jadi korban keganasan politik bangsa kita, kerugian harta benda sudah tak terhitung lagi. Tapi, yang lebih menyakitkan lagi ketika reformasi mulai berjalan beberapa dekade, tiba-tiba kembali dinodai dengan kebijakan politis para penguasa yang lebih bersifat merugikan rakyat kecil
Sejak prakemerdekaan,mahasiswa sudah menempatkan dirinya sebagai agen perubahan dengan idealisme dan moral force yang dimilikinya. Bersama-sama masyarakat, mahasiswa selalu ada di garda terdepan untuk melakukan perubahan, mendobrak kesewenang-wenangan rezim demi menegakkan kebenaran dan keadilan. Sebab, dibanding yang lain, mahasiswa masih relatif bebas dari interes politik, seperti kedudukan, jabatan, dan kekayaan.Berapa banyak rentetan sejarah bertinta emas yang telah ditorehkan oleh mahasiswa Indonesia. Kebangkitan Nasional, Sumpah Pemuda, Revolusi Pemuda 1945, gerakan mahasiswa angkatan 66, 74, 78, 80-an,
90-an adalah fakta-fakta sejarah yang tidak bisa dimungkiri oleh siapa pun. Warisan sejarah inilah yang kelak senantiasa menjadi idealisasi bagi kaum muda, khususnya mahasiswa pada generasi setelahnya itu, menjadi semacam "panggilan sejarah" dari generasi ke generasi, dan sekaligus pembangkit menuju kehidupan berbangsa dan bernegara.Sebenarnya, kita mahasiswa sekarang ini secara tidak langsung telah dibebani oleh suatu tanggung jawab moral yang telah dirintis oleh generasi sebelumnya Tapi, sekarang ini kita sering lupa akan tanggung jawab dan pelabelan yang diberikan oleh masyarakat kepada kita mahasiswa. Sebenarnya apa yang terjadi pada kita, mahasiswa, apa penyebab kemandulan pergerakan mahasiswa sekarang ini? Permasalahan ini adalah sebuah ironi yang harus kita pecahkan dan kita cari solusinya secara bersama
Rasanya tidak terlalu berlebihan kalau dikatakan bahwa mahasiswa sekarang ini diumpa-makan sebagai "macan ompong" yang kehilangan taringnya Teriakan mahasiswa sekarang ini hampir tidak didengarkan lagi. Kita sering melihat mahasiswa turun ke jalan-jalan unjuk mengusung isu nasional yang berhubungan dengan keadilan sosial, penegakan hak asasi manusia, tapi itu semua hanya berakhir sebagai wacana dan tanpa ada tindak lanjutnya. Dalam hal ini, kita tidak bisa menyalahkan siapa pun, tapi ini adalah sebuah pelajaran bagi kita mahasiswa untuk berbenah diri,dan belajar dari kesalahan.Pergerakan mahasiswa sekarang ini sangat jauh berbeda dari pergerakan mahasiswa yang terjadi pada era 1998, ketika penggulingan rezim otoriter Orde Baru. Kalau kita cermati secara saksama, pergerakan mahasiswa yang terjadi pada era 1998 tersebut bisa dibilang berhasil karena semua elemen mahasiswa bersatu demi satu tujuan yang dikenal dengan istilah "reformasi", tanpa melihat perbedaan yang ada Kalau kita menariknya ke dalam konteks sekarang ini, maka perjuangan mahasiswa bisa digolongkan hanya sebatas wacana dalam kepala tanpa direalisasikan dalam dataran praksisnya
Sejauh pengamatan penulis, sebenarnya kunci dari keberhasilan perjuangan mahasiswa pada era 1998 adalah karena adanya figur sentral yang memelopori dari pergerakan mahasiswa tersebut, sebutlah yang menjadi figur dari pergerakan mahasiswa pada waktu itu adalah Amien Rais, Gus Dur, dan masih banyak lagi tanpa harus disebutkan satu per satu. Sekarang ini tampaknya mahasiswa kehilangan sosok figur yang bisa mereka percayai dan dielu elukan untuk menjadi panutan dan basis dari ideologi perjuangan pergerakan mahasiswa tersebut. Seolah mahasiswa sekarang ini sudah bosan dikibuli dan dikhianati kepercayaan mereka oleh sosok figur yang pernah dielukannyaDengan kehilangan figur yang dapat mereka jadikan sebagai penggerak dari perjuangan mereka tersebut, maka dampaknya sangat besar sekali bagi pergeakan mahasiswa, di mana terjadinya ketumpulan dan kepekaan mahasiswa untuk membaca kesenjangan yang terjadi di ranah sosial masyarakat, pelanggaran HAM dan sebagainya.
Di samping mahasiswa kehilangan sosok yang mereka dambakan, sekarang ini mahasiswa juga mengalami krisis dalam batang tubuh pergerakan mahasiswa sendiri. Krisis ini wajib kita benahi secara serius. Sekarang ini mahasiswa seolah-olah kehilangan moral yang menjadi basis dari pergerakan mereka. Gerakan moral (moral force) istilah yang sangat memesona dan menarik sekali karena, berbicara tentang moral, berarti berbicara tentang suara hati yang senantiasa merefleksikan kebenaran universal, menolak segala bentuk penindasan, kesewenang-wenangan, dan otoritarianisme kekuasaan. Kekuatan moral (moral force) adalah kekuatan abadi yang tak akan pernah mati selama ada manusia yang jujur dengan nuraninya
Tampaknya pergerakan mahasiswa sekarang ini tidak lagi mengutamakan kepentingan rakyat, tapi lebih pada kepentingan individu dan kelompok. Tidak bisa kita mungkiri bahwa kebanyakan mahasiswa sekarang ini lebih cenderung ber- happy-happy, hidup bergaya hedonisme, dan lebih mengutamakan emosi daripada rasio. Secara tidak langsung, kita telah melupakan tanggung jawab yang telah diamanatkan kepada kita oleh generasi sebelumnya *** Penulis adalah alumnus UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Entitas terkaitAmien | Berapa | Gerakan | Gus | HAM | Hampir | Ibu | Indonesia | Kebangkitan | Kekuatan | Krisis | Orde | Penulis | Pergerakan | Permasalahan | Persimpangan | Rakyat | Rasanya | Reformasi | Sebenarnya | Sejauh | Seolah | Soeharto | Sumpah | Sungguh | Tampaknya | Teriakan | Warisan | Yogyakarta | Gerakan Mahasiswa | Indonesia Tidak | Oleh Nya | Orde Baru | Presiden Soeharto | Reformasi Indonesia | Revolusi Pemuda | UIN Sunan |
Ringkasan Artikel Ini
Warisan sejarah inilah yang kelak senantiasa menjadi idealisasi bagi kaum muda, khususnya mahasiswa pada generasi setelahnya itu, menjadi semacam "panggilan sejarah" dari generasi ke generasi, dan sekaligus pembangkit menuju kehidupan berbangsa dan bernegara.Sebenarnya, kita mahasiswa sekarang ini secara tidak langsung telah dibebani oleh suatu tanggung jawab moral yang telah dirintis oleh generasi sebelumnya Tapi, sekarang ini kita sering lupa akan tanggung jawab dan pelabelan yang diberikan oleh masyarakat kepada kita mahasiswa. Kalau kita cermati secara saksama, pergerakan mahasiswa yang terjadi pada era 1998 tersebut bisa dibilang berhasil karena semua elemen mahasiswa bersatu demi satu tujuan yang dikenal dengan istilah "reformasi", tanpa melihat perbedaan yang ada Kalau kita menariknya ke dalam konteks sekarang ini, maka perjuangan mahasiswa bisa digolongkan hanya sebatas wacana dalam kepala tanpa direalisasikan dalam dataran praksisnya Sejauh pengamatan penulis, sebenarnya kunci dari keberhasilan perjuangan mahasiswa pada era 1998 adalah karena adanya figur sentral yang memelopori dari pergerakan mahasiswa tersebut, sebutlah yang menjadi figur dari pergerakan mahasiswa pada waktu itu adalah Amien Rais, Gus Dur, dan masih banyak lagi tanpa harus disebutkan satu per satu. Seolah mahasiswa sekarang ini sudah bosan dikibuli dan dikhianati kepercayaan mereka oleh sosok figur yang pernah dielukannyaDengan kehilangan figur yang dapat mereka jadikan sebagai penggerak dari perjuangan mereka tersebut, maka dampaknya sangat besar sekali bagi pergeakan mahasiswa, di mana terjadinya ketumpulan dan kepekaan mahasiswa untuk membaca kesenjangan yang terjadi di ranah sosial masyarakat, pelanggaran HAM dan sebagainya.
Baru pada tahun 1998 muncul keberanian dari beberapa kelompok untuk melepaskan diri dari kediktatoran rezim Orde Baru yang dipelopori oleh mahasiswa. Hampir seluruh rakyat Indonesia berduyun-duyun menyuarakan kebebasan (freedom) di seluruh pelosok Ibu Pertiwi. Reformasi mencoba mengusung beberapa agenda dasar untuk menuju perubahan Indonesia pada masa yang akan datang. Reformasi tidak hanya terjadi pada dataran politik, tapi hampir semua lini mengalami reformasi, baik ekonomi, pendidikan, maupun budaya.
Harapan-harapan menuju kehidupan yang lebih baik mulai digantungkan, seolah-olah reformasi bisa mengubah nasib ribuan rakyat Indonesia ke depan. Tapi, hasil yang didapat berbanding terbalik dengan yang diharapkan oleh rakyat Indonesia. Di sini kita juga harus menyadari bahwa reformasi bukanlah sebuah barang jadi yang siap pakai. Tapi, reformasi adalah langkah awal menuju jalan kebenaran dan kemerdekaan sesungguhnya. Untuk itu, masih diperlukan perdebatan yang panjang guna merumuskan arah dan warna
Indonesia ke depan.
Sungguh sangat menyakitkan kalau kita kembali melihat perjalanan sejarah kelam bangsa Indonesia. Ketika itu bangsa Indonesia mencoba melepaskan diri dari pemerintahan otoriter Presiden Soeharto yang lebih dikenal dengan sebutan gerakan reformasi. Hal ini dibuktikan dengan lengsernya Soeharto dari tampuk kekuasaannya pada 21 Mei 1998.Namun, reformasi harus dibayar mahal oleh rakyat Indonesia Tidak sedikit nyawa yang tidak berdosa jadi korban keganasan politik bangsa kita, kerugian harta benda sudah tak terhitung lagi. Tapi, yang lebih menyakitkan lagi ketika reformasi mulai berjalan beberapa dekade, tiba-tiba kembali dinodai dengan kebijakan politis para penguasa yang lebih bersifat merugikan rakyat kecil
Sejak prakemerdekaan,mahasiswa sudah menempatkan dirinya sebagai agen perubahan dengan idealisme dan moral force yang dimilikinya. Bersama-sama masyarakat, mahasiswa selalu ada di garda terdepan untuk melakukan perubahan, mendobrak kesewenang-wenangan rezim demi menegakkan kebenaran dan keadilan. Sebab, dibanding yang lain, mahasiswa masih relatif bebas dari interes politik, seperti kedudukan, jabatan, dan kekayaan.Berapa banyak rentetan sejarah bertinta emas yang telah ditorehkan oleh mahasiswa Indonesia. Kebangkitan Nasional, Sumpah Pemuda, Revolusi Pemuda 1945, gerakan mahasiswa angkatan 66, 74, 78, 80-an,
90-an adalah fakta-fakta sejarah yang tidak bisa dimungkiri oleh siapa pun. Warisan sejarah inilah yang kelak senantiasa menjadi idealisasi bagi kaum muda, khususnya mahasiswa pada generasi setelahnya itu, menjadi semacam "panggilan sejarah" dari generasi ke generasi, dan sekaligus pembangkit menuju kehidupan berbangsa dan bernegara.Sebenarnya, kita mahasiswa sekarang ini secara tidak langsung telah dibebani oleh suatu tanggung jawab moral yang telah dirintis oleh generasi sebelumnya Tapi, sekarang ini kita sering lupa akan tanggung jawab dan pelabelan yang diberikan oleh masyarakat kepada kita mahasiswa. Sebenarnya apa yang terjadi pada kita, mahasiswa, apa penyebab kemandulan pergerakan mahasiswa sekarang ini? Permasalahan ini adalah sebuah ironi yang harus kita pecahkan dan kita cari solusinya secara bersama
Rasanya tidak terlalu berlebihan kalau dikatakan bahwa mahasiswa sekarang ini diumpa-makan sebagai "macan ompong" yang kehilangan taringnya Teriakan mahasiswa sekarang ini hampir tidak didengarkan lagi. Kita sering melihat mahasiswa turun ke jalan-jalan unjuk mengusung isu nasional yang berhubungan dengan keadilan sosial, penegakan hak asasi manusia, tapi itu semua hanya berakhir sebagai wacana dan tanpa ada tindak lanjutnya. Dalam hal ini, kita tidak bisa menyalahkan siapa pun, tapi ini adalah sebuah pelajaran bagi kita mahasiswa untuk berbenah diri,dan belajar dari kesalahan.Pergerakan mahasiswa sekarang ini sangat jauh berbeda dari pergerakan mahasiswa yang terjadi pada era 1998, ketika penggulingan rezim otoriter Orde Baru. Kalau kita cermati secara saksama, pergerakan mahasiswa yang terjadi pada era 1998 tersebut bisa dibilang berhasil karena semua elemen mahasiswa bersatu demi satu tujuan yang dikenal dengan istilah "reformasi", tanpa melihat perbedaan yang ada Kalau kita menariknya ke dalam konteks sekarang ini, maka perjuangan mahasiswa bisa digolongkan hanya sebatas wacana dalam kepala tanpa direalisasikan dalam dataran praksisnya
Sejauh pengamatan penulis, sebenarnya kunci dari keberhasilan perjuangan mahasiswa pada era 1998 adalah karena adanya figur sentral yang memelopori dari pergerakan mahasiswa tersebut, sebutlah yang menjadi figur dari pergerakan mahasiswa pada waktu itu adalah Amien Rais, Gus Dur, dan masih banyak lagi tanpa harus disebutkan satu per satu. Sekarang ini tampaknya mahasiswa kehilangan sosok figur yang bisa mereka percayai dan dielu elukan untuk menjadi panutan dan basis dari ideologi perjuangan pergerakan mahasiswa tersebut. Seolah mahasiswa sekarang ini sudah bosan dikibuli dan dikhianati kepercayaan mereka oleh sosok figur yang pernah dielukannyaDengan kehilangan figur yang dapat mereka jadikan sebagai penggerak dari perjuangan mereka tersebut, maka dampaknya sangat besar sekali bagi pergeakan mahasiswa, di mana terjadinya ketumpulan dan kepekaan mahasiswa untuk membaca kesenjangan yang terjadi di ranah sosial masyarakat, pelanggaran HAM dan sebagainya.
Di samping mahasiswa kehilangan sosok yang mereka dambakan, sekarang ini mahasiswa juga mengalami krisis dalam batang tubuh pergerakan mahasiswa sendiri. Krisis ini wajib kita benahi secara serius. Sekarang ini mahasiswa seolah-olah kehilangan moral yang menjadi basis dari pergerakan mereka. Gerakan moral (moral force) istilah yang sangat memesona dan menarik sekali karena, berbicara tentang moral, berarti berbicara tentang suara hati yang senantiasa merefleksikan kebenaran universal, menolak segala bentuk penindasan, kesewenang-wenangan, dan otoritarianisme kekuasaan. Kekuatan moral (moral force) adalah kekuatan abadi yang tak akan pernah mati selama ada manusia yang jujur dengan nuraninya
Tampaknya pergerakan mahasiswa sekarang ini tidak lagi mengutamakan kepentingan rakyat, tapi lebih pada kepentingan individu dan kelompok. Tidak bisa kita mungkiri bahwa kebanyakan mahasiswa sekarang ini lebih cenderung ber- happy-happy, hidup bergaya hedonisme, dan lebih mengutamakan emosi daripada rasio. Secara tidak langsung, kita telah melupakan tanggung jawab yang telah diamanatkan kepada kita oleh generasi sebelumnya *** Penulis adalah alumnus UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Entitas terkaitAmien | Berapa | Gerakan | Gus | HAM | Hampir | Ibu | Indonesia | Kebangkitan | Kekuatan | Krisis | Orde | Penulis | Pergerakan | Permasalahan | Persimpangan | Rakyat | Rasanya | Reformasi | Sebenarnya | Sejauh | Seolah | Soeharto | Sumpah | Sungguh | Tampaknya | Teriakan | Warisan | Yogyakarta | Gerakan Mahasiswa | Indonesia Tidak | Oleh Nya | Orde Baru | Presiden Soeharto | Reformasi Indonesia | Revolusi Pemuda | UIN Sunan |
Ringkasan Artikel Ini
Warisan sejarah inilah yang kelak senantiasa menjadi idealisasi bagi kaum muda, khususnya mahasiswa pada generasi setelahnya itu, menjadi semacam "panggilan sejarah" dari generasi ke generasi, dan sekaligus pembangkit menuju kehidupan berbangsa dan bernegara.Sebenarnya, kita mahasiswa sekarang ini secara tidak langsung telah dibebani oleh suatu tanggung jawab moral yang telah dirintis oleh generasi sebelumnya Tapi, sekarang ini kita sering lupa akan tanggung jawab dan pelabelan yang diberikan oleh masyarakat kepada kita mahasiswa. Kalau kita cermati secara saksama, pergerakan mahasiswa yang terjadi pada era 1998 tersebut bisa dibilang berhasil karena semua elemen mahasiswa bersatu demi satu tujuan yang dikenal dengan istilah "reformasi", tanpa melihat perbedaan yang ada Kalau kita menariknya ke dalam konteks sekarang ini, maka perjuangan mahasiswa bisa digolongkan hanya sebatas wacana dalam kepala tanpa direalisasikan dalam dataran praksisnya Sejauh pengamatan penulis, sebenarnya kunci dari keberhasilan perjuangan mahasiswa pada era 1998 adalah karena adanya figur sentral yang memelopori dari pergerakan mahasiswa tersebut, sebutlah yang menjadi figur dari pergerakan mahasiswa pada waktu itu adalah Amien Rais, Gus Dur, dan masih banyak lagi tanpa harus disebutkan satu per satu. Seolah mahasiswa sekarang ini sudah bosan dikibuli dan dikhianati kepercayaan mereka oleh sosok figur yang pernah dielukannyaDengan kehilangan figur yang dapat mereka jadikan sebagai penggerak dari perjuangan mereka tersebut, maka dampaknya sangat besar sekali bagi pergeakan mahasiswa, di mana terjadinya ketumpulan dan kepekaan mahasiswa untuk membaca kesenjangan yang terjadi di ranah sosial masyarakat, pelanggaran HAM dan sebagainya.
Mahasiswa Boneka
Dalam bisu mengupas sebuah kepenatan
Menjadi seorang Mahasiswa
Konon,,
Mahasiswa seperti Dewa..
dewa yang berbentuk manusia..
Macam lakon yang kacau..
Aksi tak pakai fikir
Aksi tak pakai hati
Panji kebenaran saja tak berani disibak
Jadi apa?
jadi dewa?
Berlakon saja tidak becus..
Belagu dengan kesombongan
Kosong dengan hati nurani..
inteluktual?
Mahasiswa aPa?
Bonekanya Birokrat..
Mahasiswa Boneka..
Tidur saja..
nina Bobo…
Mahasiswa Boneka
Langganan:
Postingan (Atom)